Indonesia meradang ketika garis batas kekuasaan perairan Ambalat dilintasi kapal-kapal Malaysia. Protes pun kian mengalir. Bangsa ini seperti kebakaran jenggot. Itu baru Ambalat. Apalagi bila perbatasan kekuasaan Indonesia lainnya dilintasi kapal dan pesawat negara asing.
Bangsa ini ternyata masih memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Lihat saja, ketika perairan Ambalat diklaim Malaysia sebagai bagian wilayahnya. Aksi demonstrasi menentang manuver kapal-kapal Malaysia pun “meletup” dari bangsa ini. Bagaimana jika aksi-aksi protes tersebut berbuntut keinginan perang terhadap Malaysia? Saya tidak bisa membayangkannya bangsa ini kembali angkat senjata. Bangsa manapun pasti terusik bila batas kedaulatannya dicaplok oleh negara lain. Demikian halnya blok minyak dan gas bumi Ambalat yang oleh Malaysia diakui masuk dalam wilayah kekuasaan negaranya, tentu saja membuat Indonesia seperti kecolongan. Wajar kemudian bangsa ini membela hak-hak wilayahnya.
Blok Ambalat di Laut Sulawesi, seperti dinyatakan Markas Besar TNI kepada wartawan, merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini sesuai dan berdasarkan peta hukum laut internasional UNCLOS 1982. Tak itu saja, bahkan TNI sendiri tidak pernah menyatakan Blok Ambalat dalam kasus sengketa.
Pernyataan TNI yang disampaikan juru bicaranya Marsekal Muda TNI Sagom Tamboen merupakan tanggapan terhadap pernyataan Panglima Angkatan Tentara Malaysia (ATM), Jenderal Abdul Aziz Zaenal, yang mengatakan pernyataan militer RI tentang Blok Ambalat tidak memiliki dasar (Tribun Kaltim, 6 Juni 2009). Sebenarnya ada apa dengan Blok Ambalat jika dinyatakan tidak ada sengketa dan perdebatan? Mengapa ATM tetap yakin perairan Ambalat yang dalam peta hukum laut internasional UNCLOS 1982, telah tegas merupakan bagian NKRI, disebutkan pernyataan TNI tidak mendasar?
Bukan rahasia lagi jika laut Indonesia melimpah dengan sumber minyak dan gas alam. Jika hanya sekadar beribut persoalan perbatasan sepertinya tidaklah cukup. Soal kisruh Blok Ambalat bukan kali ini saja. Pada tahun-tahun sebelumnya, manuver kapal dan pesawat Malaysia melintasi kedaulatan NKRI pernah dilakukan. Bahkan bangsa ini pun lagi-lagi terbakar nasionalismenya untuk membela Blok Ambalat.
Perairan Nusantara ini memang menggiurkan. Hanya saja kekayaan lautnya yang melimpah kurang mandapat perhatian pemerintah. Ketika era Abdurrahman Wahid (Gus Dur) perhatian terhadap potensi laut mulai dilirik. Gus Dur tidak saja melihat potensi darat, tapi mantan presiden RI Ke-4 ini melirik laut sebagai kekayaan yang potensial. Karena itu, Gus Dur dimasa pemerintahnya “mempelopori” dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut. Kini dikenal menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Sejarahnya Indonesia adalah negara maritim yang sangat luas wilayahnya. Dengan jumlah pulau 17.480 dengan panjang pantai 95.181 Km merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Menurut informasi, diperkirakan, nilai ekonomi potensi dan kekayaan laut kita sekitar US$ 156,6 miliar per tahun. Ini potensi besar, yang bila dikelola dengan profesional akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat.
Masa keemasan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara ini dahulunya patut menjadi referensi bangsa ini. Sejarahnya, kejayaan kerajaan Nusantara di negeri ini tidak lepas dari keberadaan jalur maritim sebagai lintasan perekonomian. Majapahit misalnya, pernah jaya dan menjadi kerajaan besar hingga menguasai pulau-pulau Asia Tenggara karena kuatnya akses kemaritimannya. Namun sejarah itu tinggal sejarah. Orientasi kebijakan pemerintah yang lebih memaksimalkan darat membuat kelautan Indonesia rentan diklaim pihak luar negeri. Selain batas dan patok wilayah yang kurang terawasi, potensi kelautan kita juga rawan dibajak oleh pihak asing.
Konflik Blok Ambalat adalah satu diantara permasalahan, betapa keberadaan kelautan kita sangat mudah diklaim oleh bangsa lain. Tak itu saja, kita masih ingat sengketa Pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dan Ligitan (luas: 18.000 meter²) yang dalam keputusan Mahkamah Internasional tahun 1998, keberadan dua pulau di Selat Makassar itu akhirnya menjadi milik Malaysia.
Bagaimana dengan sengketa Ambalat? Apa akan bernasib seperti Sipadan dan Ligitan? Inilah tantangan besar pemimpin dan diplomat-diplomat negeri ini untuk membela kedaulatan laut NKRI. Menyikapi pilihan untuk perang terhadap Malaysia bisa saja menjadi jalan terakhir ketika perundingan buntu. Tapi jika masih ada jalur hukum untuk menyelesaikan perseteruan Blok Ambalat, apa tidak baiknya ditempuh oleh penguasa negeri ini.
Tegasnya, penyelesaian konflik Blok Ambalat kembali kepada sikap tegas pemerintah menata garis batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Laut Sulawesi. Pakar hukum laut internasional, Prof Dr Hasyim Djalal, seperti dilansir belanegarari.wordpress.com, secara hukum serta berdasarkan konsensus Mahkamah Internasional, Indonesia adalah pemilik sah wilayah Ambalat.
Bahkan dikatakan, Indonesia adalah negara kelautan yang memiliki bukti dan dokumen sejak peninggalan pemerintah Belanda yang sangat kuat mengenai Nusantara yang memuat hukum laut dan batas garis pangkal nusantara. Batas laut dasar sampai pantai dasar serta di mana posisi perairan Indonesia berada hingga mencapai 200 mil dari Zona Ekonomi Eksklusif.
Konflik Blok Ambalat adalah potret betapa perhatian pemerintah masih jauh dari visi mempotensikan kemaritiman Nusantara. Kita mulai tampak “kebakaran jenggot” dan “merapatkan barisan” ketika kapal dan pesawat asing melintasi perbatasan perairan Indonesia. Kita mulai teriak “Ganyang Malaysia” ketika kedaulatan NKRI dilanggar. Dan kita pun sepakat menggelar aksi protes melawan klaim Malaysia terhadap Ambalat. Tapi mengapa lagi-lagi pemerintah lamban menyikapi masalah ini?
Apapun alasannya konflik Ambalat adalah masalah harga diri kedaulatan NKRI. Prinsipnya tidak ada harga tawar ketika wilayah kedaulatan NKRI dikuasai bangsa lain. Pemerintah harus tegas dan serius menyelamatkan blok migas tersebut. Ini pundi dan kedaulatan negara yang harus kita bela. Dan jangan biarkan Ambalat bernasib seperi Sipadan-Ligitan yang akhirnya bangsa ini lebih memilih mengalah untuk dikuasai Malaysia.